Lensa Mata Medan || Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara kembali menghentikan penuntutan perkara tindak pidana penganiayaan dan pengancaman dari Kejari Gunungsitoli dan Kejari Labuhan Batu setelah sebelumnya Kajati Sumut Idianto, SH,MH, diwakili Wakajati Joko Purwanto, SH, MH, Aspidum Luhur Istighfar,SH,MH, Kabag TU dan para Kasi di ruang vicon Lantai 2 Kantor Kejati Sumut, Kamis (6/4/2023) kepada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Kejagung RI Dr. Fadil Zumhana RI.
Menurut Kajati Sumut Idianto melalui Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan, SH,MH perkara yang dihentikan penuntutannya dengan pendekatan keadilan restoratif berasal dari Kejari Gunungsitoli dan Kejari Labuhan Batu.
“Perkara pertama adalah Tersangka atas nama Lambok Parulian Simamora dari Kejaksaan Negeri Labuhan Batu yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, ” papa Yos A Tarigan.
Kemudian, tersangka I Nyak Aziz Baeha alias Ama Dandi,, Tersangka II Risman Saleh Zai alias Ama Ikhwan, Tersangka III Sudirman Aceh alias Ama Febi, Tersangka IV Romi Septyawan Larosa alias Ama Jea, dan Tersangka V Hilarius Yusman Ndruru alias Ama Agra dari Kejaksaan Negeri Gunungsitoli yang disangka melanggar Pasal 351 KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Penganiayaan.
Masih dari Kejari Gunungsitoli atas nama Tersangka Mawardin Zai alias Ama Iren yang disangka melanggar Pasal 335 Ayat (1) KUHP tentang Pengancaman.
Adapun alasan dan pertimbangan dilakukannya penghentian penuntutan dengan penerapan restorative justice, lanjut Yos A Tarigan berpedoman pada Peraturan Jaksa Agung No. 15 tahun 2020 yaitu, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman hukuman dibawah 5 tahun penjara, adanya perdamaian antara tersangka dengan korban dan direspons positif oleh keluarga.
Lebih lanjut mantan Kasi Pidsus Kejari Deli Serdang ini menyampaikan bahwa antara tersangka dan korban ada kesepakatan berdamai dan tersangka menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Proses pelaksanaan perdamaian juga disaksikan oleh keluarga, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta difasilitasi oleh Kajari, dan jaksa yang menangani perkaranya.
Harapan kita ke depan, tambah Yos A Tarigan penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif ini membuka ruang yang sah menurut hukum bagi pelaku dan korban secara bersama merumuskan penyelesaian permasalahan guna dilakukannya pemulihan keadaan ke keadaan semula.
“Ketika tersangka dan korban bersepakat berdamai, maka hubungan yang sempat terputus bisa harmonis kembali,” tandas Yos.(Andry)